“Ayo capati bangun” kudengar suara ayah
lebih nyaring dari biasanya, “Ada api di hulu”.
Mendengar kata “api” cepat aku menyusul
ibu yang duluan keluar dari kelambu. Demikian juga kakak Amalia dan Lutfan
keluar dari kamarnya masing-masing.
Kulihat jam dinding masih pukul sebelasan
malam. Jam-jam seperti itu biasanya kami sudah tertidur pulas, sedangkan ayah
masih berjaga. Sehingga ketika mendengar ada teriakan “api” ayah langsung
keluar untuk melihat.
“Dimana bah apinya” tanyaku.
“Di hulu. Coba lihati di ambin (teras)”
kata ayah.
Bergegas aku keluar. Ternyata apinya
memang di hulu, di RT 5 Paliwara. Sedang rumah kami di RT 8. Jadi sangat dekat
sekali, sekitar 200 – 300 meteran dari rumah.
Saat pertama kali melihat api tersebut,
jalanan masih sepi, tidak banyak orang yang keluar rumah. Tapi sekitar lima
belas menitan kemudian, api tambah membesar, dan orang-orang juga tambah banyak
berdatangan. Tak terkecuali di titian panjang dimuka rumahku. Banyak orang
berlalu lalang ingin membantu, tapi ada juga yang sekedar ingin melihat-lihat,
khususnya ibu-ibu, dan anak-anak perempuan sepertiku. Aku, ibu, tante Ty dan
Nininya Rahmah duduk di bangku panjang yang ada tepat dimuka rumahku.
Setelah api padam, aku mengajak ayah
untuk melihat-lihat sebentar. Dengan berjalan kaki di titian panjang, kulihat
petugas Damkar (Pemadam Kebakaran) membenahi dan menggulung slang-slang air
yang besar bekas memadamkan api. Ditempat kejadian, kuhitung ada sekitar 3 buah
rumah yang habis terbakar. Pulangnya ayah mengajakku melalui jalan raya. Di
jalan besar kulihat lebih dari 10 buah mobil pemadam berjejer di tepi jalan
raya dari rumah makan “Asfarzah” sampai langgar “Nurul Huda” Paliwara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar