Sore hari menjelang
maghrib, kudengar kakakku Lutfan memanggil-manggil ayah seraya merengek-rengek.
“Bah..! buangakan
pang tikus mati di kamar ulun” kata kakak.
“Buang sendiri” kata
ayah
“Kada wani” kata
kakakku lagi.
“Bungkus tangan pakai
kantongan plastik, lalu angkat……”
“Tetap kada wani.
Capati bah, buangakan….”
Mendengar kakak
Lutfan merengek-rengek, aku dan kakak Amalia mentertawakannya.
“Uyuh kada wani, maka
ganal ha awak” kataku. Padahal aku sendiri juga tidak berani.
Kakak terus merengek-rengek.
Akhirnya ayah mau juga membuangnya. Namun sebelumnya ayah menasehati kakak.
Kata ayah “ “Makanya kamar itu harus dibersihkan, jangan sampai kertas dan barang-barang berserakan di lantai
kamar. Dimana garang tikusnya !”
“Itu tuh di lantai parak
(dekat) kasur” kata Lutfan.
Ayah lalu mengambil
kantongan plastik lalu mengambil tikus tersebut dengan tangan kiri. Kami
bertiga berlarian. Kakak Amalia ke dapur, Aku ke kamar tengah, sedangkan Lutfan
sembunyi disamping lemari pakaian.
Sebelum dibuang, ayah
mencari-cari kakak Lutfan. Aku berteriak ketika ayah ke kamar memperlihatkan bangkai tikus tersebut. Dengan
isyarat aku menunjuk ke tempat persembunyian kakak Lutfan, ayah lalu menutup
pintu kamar dan ketahuanlah Lutfan bersembunyi di situ. Ayah kemudian menakut-nakuti
Lutfan dengan tikus tersebut.
“Ih….. kaya
tengkorak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar