Minggu, 24 Juni 2018

BALADOMAN


Suasana malam hari raya saat ini benar-benar menyenangkan. Langit  malam terlihat penuh dengan taburan bintang.
Selepas Isya’ ayah mengajakku ke rumah kakek. Meskipun kakek dan nenek sudah tidak ada, tetapi biasanya selalu ada keluarga yang datang “bailang”. Kulihat orang-orang berlalu lalang membawa beras. Pada ayah aku tanyakan tentang hal itu.  Ayahpun menjelaskan bahwa yang mereka bawa itu adalah beras untuk membayar “fitrah”. Mereka ada yang menyerahkannya ke mesjid atau langgar, atau ada juga yang langsung ke tetangga yang miskin.
Ketika kami pulang, di titian panjang dekat rumahku, banyak anak-anak duduk berkerumun, ada Zikri, Maulana, Saim, Almin, Damma, Jinan dan lain-lain. Mereka seperti membunyikan sesuatu.



Ayah kemudian menjelaskan, bahwa yang mereka bunyikan itu adalah “Ladoman”. Ladoman tidak lain adalah meriam bambu.  Ruas bambunya dihilangkan, lalu di ruas terakhir diberi lubang di atasnya untuk menyulut api. Agar meriam bambu tersebut mengeluarkan suara, maka harus di isi dengan minyak tanah terlebih dahulu. Dan agar bunyinya berdentum keras, maka dapat ditambahkan “karbit”.
Cerita ayah, pada zaman ayah dulu, meriamnya besar-besar, bahkan terbuat dari pohon kelapa. Bunyinya sangat nyaring seperti petir. Tapi hal itu kata ayah sudah dilarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar