Suasana malam hari raya saat
ini benar-benar menyenangkan. Langit
malam terlihat penuh dengan taburan bintang.
Selepas Isya’ ayah mengajakku
ke rumah kakek. Meskipun kakek dan nenek sudah tidak ada, tetapi biasanya
selalu ada keluarga yang datang “bailang”. Kulihat orang-orang berlalu
lalang membawa beras. Pada ayah aku tanyakan tentang hal itu. Ayahpun menjelaskan bahwa yang mereka bawa
itu adalah beras untuk membayar “fitrah”. Mereka ada yang menyerahkannya
ke mesjid atau langgar, atau ada juga yang langsung ke tetangga yang miskin.
Ketika kami pulang, di titian
panjang dekat rumahku, banyak anak-anak duduk berkerumun, ada Zikri, Maulana,
Saim, Almin, Damma, Jinan dan lain-lain. Mereka seperti membunyikan sesuatu.
Ayah kemudian menjelaskan,
bahwa yang mereka bunyikan itu adalah “Ladoman”. Ladoman tidak lain
adalah meriam bambu. Ruas bambunya
dihilangkan, lalu di ruas terakhir diberi lubang di atasnya untuk menyulut api.
Agar meriam bambu tersebut mengeluarkan suara, maka harus di isi dengan minyak
tanah terlebih dahulu. Dan agar bunyinya berdentum keras, maka dapat
ditambahkan “karbit”.
Cerita ayah, pada zaman ayah
dulu, meriamnya besar-besar, bahkan terbuat dari pohon kelapa. Bunyinya sangat
nyaring seperti petir. Tapi hal itu kata ayah sudah dilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar