Minggu, 24 Juni 2018

MAN .... DUR .....



Setelah yang laki-laki datang dari shalat zuhur di Mesjid terdekat, acara makan-makan bersamapun dimulai. Keluarga dari Banjarmasin membawa masakan dengan menu Sate. Sedangkan keluarga yang dari Amuntai membawa masakan dengan menu Opor  ayam. 


Tidak lama setelah makan-makan dan kembali selfi-selfian, satu persatu rombongan keluarga pulang dan melanjutkan perjalanan ketujuan masing-masing. Aufa sekeluarga melanjutkan ke Margasari sebelum nantinya kembali ke Banjarbaru. Karimah sekeluarga melanjutkan ke Banjarbaru kemudian terus ke Banjarmasin. Ihya sekeluarga kembali ke Paringin, sedangkan Hilya sekeluarga kembali ke  Amuntai. Dan kami sekeluargapun menyusul pulang ke Amuntai.
Perjalanan pulang cukup tenang. Arus lalu lintas lancar, tidak padat seperti pagi tadi. Meskipun laju kendaraan lebih cepat, tetapi mataku bertambah berat. Sangat berat. Aku sampai tertidur di mobil. Saking mengantuknya, ketika singgah di sebuah warung, di daerah Kandangan, pun aku makan gorengan sambil mata terpejam....... Alias jadi Man dur.... makan sambil tidur..... Aku jadi diketawain.....

SELFI KELUARGA BESAR


Sewaktu kakek dan nenek masih hidup, tradisi mudik ke Desa Gadung Keramat, Rantau, dilaksanakan sehari setelah lebaran puasa. Meski sekarang tanpa kakek dan nenek, tradisi kumpul-kumpul keluarga tersebut terus dilanjutkan. 


Pastilah setiap bertemu keluarga, banyak kisah yang diceritakan. Hal tersebut aku lihat, karena masing-masing orang asyik berbicara diantara mereka. Hanya kami yang kecil-kecil yang tidak banyak bicara. Paling kami memainkan game di HP masing-masing. Paling kami memakan makanan ringan yang kami beli dalam perjalanan. Atau, paling kami bicara tentang diri kami masing-masing.
Kami datang ke Desa Gadung sekira pukul setengah sebelas. Menyusul kemudian Karimah sekeluarga, kemudian Ihya sekeluarga, dan terakhir Hilya sekeluarga datang belakangan membawa panci makanan untuk makan bersama. Menjelang waktu zuhur, keluarga yang ada di sekitar gadung pada datang. Keadaan tambah meriah. Dan suasananya tambah ceria ketika semuanya berselfi ria bersama keluarga besar.

CES-AN KODOK


Melihat kakak main HP, ingin sekali memilikinya. Sudah minta pada orang tua, tapi tidak dibelikan. Kata mereka, nanti kalau sudah sekolah tsanawiyah.
Kebetulan  kakak Amalia memiliki HP lama. Hanya saja baterainya tidak ada. Oleh kakak, HP itu diberikannya kepadaku. Aduh senangnya. Meskipun demikian, ayah dan ibu tetap tidak mau membelikan baterainya.


Lantas aku berfikir. Daripada tidak dapat  menggunakan HP nya sama sekali, lebih baik aku beli baterai dengan uangku sendiri.
Kebetulan banyak angpao lebaran yang aku terima. Jumlahnya kalau ditotal hampir 300 ribu rupiah. Ditemani kakak, aku membeli baterai HP seharga  Rp. 45.000,-
Namun, ketika dicoba di rumah, HP nya tidak dapat di ces. Rupanya colokannya rusak. Oleh kakak disarankan untuk membeli “Ces an Kodok”. Maka dengan ditemani ayah, aku ngotot untuk membeli cesan kodok tersebut. Harganya Rp. 25.000,-
Alhamdulillah, dengan modal Rp. 70.000,- jadilah aku sekarang memiliki HP sediri. Terima kasih kakak .......

BALADOMAN


Suasana malam hari raya saat ini benar-benar menyenangkan. Langit  malam terlihat penuh dengan taburan bintang.
Selepas Isya’ ayah mengajakku ke rumah kakek. Meskipun kakek dan nenek sudah tidak ada, tetapi biasanya selalu ada keluarga yang datang “bailang”. Kulihat orang-orang berlalu lalang membawa beras. Pada ayah aku tanyakan tentang hal itu.  Ayahpun menjelaskan bahwa yang mereka bawa itu adalah beras untuk membayar “fitrah”. Mereka ada yang menyerahkannya ke mesjid atau langgar, atau ada juga yang langsung ke tetangga yang miskin.
Ketika kami pulang, di titian panjang dekat rumahku, banyak anak-anak duduk berkerumun, ada Zikri, Maulana, Saim, Almin, Damma, Jinan dan lain-lain. Mereka seperti membunyikan sesuatu.



Ayah kemudian menjelaskan, bahwa yang mereka bunyikan itu adalah “Ladoman”. Ladoman tidak lain adalah meriam bambu.  Ruas bambunya dihilangkan, lalu di ruas terakhir diberi lubang di atasnya untuk menyulut api. Agar meriam bambu tersebut mengeluarkan suara, maka harus di isi dengan minyak tanah terlebih dahulu. Dan agar bunyinya berdentum keras, maka dapat ditambahkan “karbit”.
Cerita ayah, pada zaman ayah dulu, meriamnya besar-besar, bahkan terbuat dari pohon kelapa. Bunyinya sangat nyaring seperti petir. Tapi hal itu kata ayah sudah dilarang.